sariful
aldiunanto.com

Fenomena eksploitasi anak-anak untuk mengemis

exploitasi anak-anakexploitasi anak-anak exploitasi anak-anak

Keramaian kota Jakarta sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warga ibukota. Hiruk pikuk dan segala masalah sosial yang ada pun seperti sudah menjadi budaya masyarakat yang sulit untuk dihilangkan. Salah satu masalah sosial yang cukup serius adalah masalah pengemis.

Kota Jakarta yang modern dengan gedung-gedung besar dan segala teknologinya tidak serta merta menjamin seluruh masyarakat yang tinggal di sekitarnya hidup berkecukupan. Jumlah penduduk yang banyak tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang ada sehingga menimbulkan adanya masalah pengangguran. Masalah pengangguran ini tentunya akan menimbulkan masalah-masalah sosial lain salah satunya yaitu maraknya fenomena pengemis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari pengemis adalah orang yang meminta-minta, atau pengertian secara luasnya adalah orang-orang yang kerjanya meminta-minta kepada orang lain guna memenuhi kebutuhannya. Seseorang menjadi pengemis karena beberapa alasan, ada yang menjadi pengemis karena memang tidak sanggup lagi bekerja, namun ada juga yang menjadi pengemis karena merasa malas untuk bekerja.

Fenomena pengemis di ibukota pun seperti sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Jakarta. Bahkan saat ini mengemis sudah menjadi profesi yang cukup menggiurkan dari segi penghasilan. Di kota besar seperti Jakarta, seorang pengemis mampu meraup keuntungan Rp 200 ribu – Rp 500 ribu perharinya, bayangkan saja berapa penghasilannya dalam sebulan (http://m.okezone.com/read/2013/08/11/320/848725/lebaran-pengemis-bisa-raup-laba-hingga-rp15-juta-bulan). Dengan memanfaatkan belas kasihan dari orang-orang sekitarnya serta pengguna jalan yang lewat, mereka mampu meraup uang yang mungkin lebih besar dari pekerja kantoran. Tentunya hal ini membuat para pengemis menjadi betah sebab dengan cara yang mudah dan tanpa perlu memiliki keahlian mereka bisa memperoleh penghasilan yang begitu besar. Tidak jarang juga ada pengemis yang berpura-pura cacat dan juga membawa anak kecil untuk menambah rasa iba dari orang di sekelilingnya. Ini tentu membuat masalah fenomena pengemis menjadi semakin kompleks. Fatwa dari para ulama yang mengharamkan mengemis dan juga imbauan dari pemerintah untuk tidak memberi uang kepada pengemis pun masih belum mampu mengatasi masalah ini.

Selain itu eksploitasi anak di bawah umur untuk mengemis tentu melanggar norma dan Undang-undang. Dalam Keppres No 36 Tahun 1990 pasal 32 Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Namun demikian, masih ada saja oknum yang sengaja menggunakan anak kecil sebagai media untuk mencari uang melalui belas kasihan orang tanpa memikirkan efek fisik dan psikologi anak tersebut. Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan, salah satu oknum tersebut kebanyakan adalah orang tuanya sendiri. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini tentu akan membuat masyarakat menjadi tidak nyaman dengan adanya pengemis ini.

Rasa iba bercampur dengan rasa takut dengan memberi uang akan membuat pengemis menjadi betah untuk mengemis membuat masyarakat menjadi tidak nyaman. Pemerintah perlu memikirkan kembali terobosan untuk mengatasi masalah pengemis ini. Memang tidak semua pengemis itu tidak baik, akan tetapi mungkin lebih baik jika mereka ditertibkan dan diberdayakan dalam suatu wadah yang menghasilkan karya-karya yang bernilai ekonomis sehingga mereka mampu menghidupi diri mereka dengan cara yang lebih baik.

 

Leave a Reply

%d